Jumat, 06 Juli 2012

Super Junior YeKyu fanfiction : LOST part 3


Genre : Crime, Friendship, Fantasy
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus Cho
Support Cast :
Sungmin as Vincent Lee
Eunhyuk as Spencer Lee
Donghae as Aiden Lee

"WAAAA" teriakan beberapa pria menggema di seluruh ruangan setelah lampu tiba-tiba menyala.

Segera aku menyembunyikan sejataku setelah mataku melihat Spencer dengan piyama kuning cerah yang berantakan menempel ditubuhnya. Sedangkan seseorang berbalut jaket hingga menutupi separuh wajahnya yang kuyakini adalah perempuan itu berdiri tegak di samping Spencer.
Setelah terduga penjahat itu dibongkar identitasnya aura diruangan ini berubah drastis. Sangat memalukan. Marcus yang tidak bisa menyembunyikan senjatanya malah berpura-pura memukuli paku yang sudah digantungi pigura foto. Dan sekarang pakunya menancap terlalu dalam, mungkin foto itu juga akan terus disitu selamanya. Sedangkan Vincent yang mengandalkan sapu sebagai senjatanya...

"Huuuh.. Kenapa disini panas sekali?!" ia mengibas-ibaskan sapu di depan wajahnya yang terlihat kikuk, sampai-sampai ujung sapu beberapa kail mengenai mata serta hidungnya.

. . . . .

"Kami tidak punya rumah, aku diusir karena tidak mau menikah." kata Spencer mengaku.
"Jadi, kau kesini..." ucap Marcus.
Spencer membungkuk untuk memohon, "Aku mohon biarkan kami tinggal disini!" ia bahkan juga memaksa temannya untuk ikut membungkuk.
"Emm.. Spencer, sepertinya kata-katamu kurang 'Setidaknya sampai kami mendapatkan rumah atau pekerjaan' kan?" usul Vincent.
"Tidak mungkin kau tinggal disini. Rumah ini kecil, bahkan aku tidak tahu bagaimana ia bisa tidur di tempatku kemarin!" tunjuknya padaku. "Bagaimana aku bisa mempercayaimu, kalau aku tidak benar-benar mengenalmu. Dan sekarang... Kau minta tempat tinggal sambil membawa wanita?!" Marcus sepertinya meledak.
"Wanita? Maksudmu..." Spencer membuka tudung jaket temannya itu, yang menampilkan wajah lesu seorang pria cantik. "Dia? Hei, kau bicaralah!"
"A... Annyeong Haseyo? Namaku Aiden Lee." suara pria-nya keluar dengan gugup.
"Baiklah, lima pria di satu rumah kecil yang hampir rubuh. Ide yang bagus. Selamat malam!" Marcus berjalan cepat naik ke atas, disusul Vincent yang terlambat.

Belum sempat kami menoleh dari tangga, mata kami melihat Vincent kembali menuruni tangga dengan wajah kusut.

Ia mengarahkan jempol melewati bahunya. "Dia mengunci kamar."
"Baiklah, kita lakukan dengan caramu." usulku pada Spencer.

Dan akhirnya kami berempat berakhir bersama di lantai ruang tamu. Spencer dari tadi mengusap perutnya, membuat siku kanannya terus mengenai lengan kiriku. Lalu Vincent yang tertidur lelap di sebelah kananku memblokirku dengan kaki kirinya.

"Spencer-ssi, kau sudah tidur?" tanyaku pelan.
"Sudah."
Aku menengok padanya, dan melihat matanya masih terbuka. "Kenapa kau tidak mau menikah?"
"Wanitanya bukan tipe-ku."
"Jadi..." aku mulai memikirkan hal yang aneh.
Lalu Spencer menatap tajam padaku. "Dia bukan siapa-siapa, dia hanya teman senasib."
"Haha, baik. Oh ya, tadi kenapa ada suara berisik? Dan juga kulihat lantai atas berkedip saat lampu dibawah mati."
"Lampu koridor atas tadi mati, lalu Aiden mau menggantinya. Karena tidak ada kursi jadi terpaksa aku menggendongnya." ia berhenti sebentar untuk mengambil nafas panjang. "Dan ia tidak melakukannya dengan cepat, jadi lampunya terus bergoyang. Dan suara berisik itu? Anak tetangga memainkan petasan, aku saja hampir gila mendengarnya."
"Darimana kau tahu?"
"Aku melihatnya dari jendela atas."
"Cukup kalau begitu, kau tidurlah! aku mungkin akan terjaga karena besok hari libur."

. . . . . . .

Aku membuka mataku, orang-orang yang semalam bersamaku kini sudah menghilang, kulihat bajuku berantakan dan kancing jaketku yang terbuka memperlihatkan baju robotku. 'Apa yang terjadi semalam?'

"Pagi Jerome-ssi!" Spencer meneguk kopi paginya setelah menyapaku.
Aku buru-buru mengancingkan jaketku, "Uh.. mmm, pagi." lalu aku menyadari pagi yang sepi ini mengingat semalam 5 pria tidur disini. "Kemana yang lain?"
"Aiden dan Vincent pergi keluar mencari sarapan. Dan Marcus masih belum keluar dari kamar." aku mengangguk sambil menarik nafas. "Mau keluar? Bagaimana kalau jogging?"
"Serius?" ia melebarkan bibirnya membentuk sebuah senyum. "Baiklah. Aku akan bicara pada Marcus dulu."

Buru-buru aku naik ke atas sebelum senyumnya itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Setelah sampai di atas, aku menuju pintu kamar Marcus dan berusaha memutar kenop pintu yang tidak mau terbuka. Akhirnya, aku mengetuk pelan pintu yang terkunci dari dalam itu, sambil mengucapkan beberapa kata manis.
Tak lama kenop pintu berputar. Pertama-tama pintu terbuka sedikit dan menampilkan mata yang lelah ditutupi kacamata besar. Kupikir tadinya ia hantu, tapi setelah ia melihatku ia langsung membuka pintu lebar-lebar dan menarikku masuk.

Ia membanting pintu saat aku sudah masuk. "Aku senang kau kemari. Kau tidak bersama siapa-siapa kan? Apa kau baik-baik saja?" Marcus menanyaiku tidak sabaran, ia juga mengusap-usap lenganku sedari tadi.
Aku menyingkirkan tangannya perlahan, "Ya tidak apa. Lalu apa kau tidak apa-apa?" tanyaku saat melihat kamarnya yang berantakan, juga dirinya yang kacau.
"Apa aku boleh bertanya?"
"Silahkan saja."
"Apa benar kau dari masa depan?"
"Benar."
"Bisakah kita kesana?" katanya dengan sangat bersemangat.
"Maksudmu?"
"Ke masa depan! Lihat!"

Ia menunjukkanku sebuah benda aneh, yang kalau dilihat-lihat bentuknya seperti sepeda dengan banyak barang yang memberatkan-nya. Bahkan aku tidak yakin itu bisa dikendarai. Aku mendekat untuk memastikan benda apa itu.

"Ini apa?"
"Time Machine." jawabnya singkat tapi masih menunjukkan ekspresi semangat.
"APA?!"
"Sttt... Dengar, aku sangat penasaran jadi semalam aku berusaha membuatnya. Ini belum sepenuhnya selesai, kalau sudah selesai aku akan mengajakmu mencobanya. Juga, jangan bilang siapa-siapa ya?"
"Baiklah." aku bejanji. "Oh ya, aku cuma mau bilang Spencer mengajakku jogging, kau mau ikut tidak?"
"Aku lelah."
"Baiklah, aku mengerti." aku menepuk pundaknya dua kali lalu keluar.

            Aku kembali membalikan badanku untuk menutup pintu, tapi saat aku hendak menuruni tangga Spencer berdiri di depanku sambil menatapku dengan aneh. Tapi kemudian ia menyodorkan segelas kopi panas dari tangan kanannya. Aku menerimanya sambil buru-buru menuruni tangga dan sampai dibawah aku langsung duduk di kursi dapur di samping ruang tamu.
            Aku terus meniupi kopiku, sambil menunduk sesekali aku melihat Spencer yang selalu berubah posisi tiap aku melihatnya. Ia membuka baju piyamanya lalu menggantinya dengan baju Training.

Ia menoleh tajam padaku. “Jadi ikut tidak?”
“Hah, apa?” tanyaku gugup, “Ahh jogging?” ia mengangkat bahunya mengiyakan. “Baiklah, aku ikut.” Aku langsung bangkit dari kursiku dan berjalan duluan ke arah pintu.
“Kau tidak ganti baju?” panggilnya.
“Aku? Hmmm.. aku tidak punya baju ganti.” Kataku jujur. Saat ini aku mengenakan jaket dan juga celana jeans yang cukup nyaman, sepertinya aku tidak perlu menggantinya.
Lalu ia berjalan mendahuluiku, “Kalau begitu nanti mampir ya ke toko pakaian.”

            Satu jam sudah kami berjalan, sekarang waktunya istirahat. Kami berdiam diri di pinggir danau dan ditemani pohon rindang. Aku tidak benar-benar merasa lelah, dan aku juga hanya meneluarkan sedikit keringat, lain halnya dengan Spencer yang bagian kerah bajunya basah kuyup. Beberapa kali ia menyeka keringat di dahinya sambil menarik nafas panjang. Sejauh yang aku lihat, sepertinya Spencer tidak menunjukkan hal-hal yang aneh. Tapi aku rasa ada sesuatu darinya yang berbeda dari manusia lainnya.
            Memberanikan diri aku menggunakan sisa energi-ku untuk segera menganalisanya. Pandanganku berubah menjadi pandangan robot, yaitu tembus pandang. Aku menoleh ke wajah Spencer, dan alangkah terkejutnya aku melihat wajah mesin serta bola mata biru menempel disana. ‘Apa ini? Apa dia juga dari masa depan?’ Aku kembali menelusuri tubuhnya selagi ia memejamkan mata, di paha kirinya terdapat sebuah Automatic Electric Pistol yang dapat melumpuhkan siapa saja. Kemudian aku dikejutkan oleh suaranya yang memanggilku, dan aku dengan cepat kembali menatap wajahnya, dan terlihatlah sebuah tulisan kecil di pipi kanannya ‘L-86’.

“Kau tidak apa?” tanyanya, mungkin saat melihat ekspresi wajahku yang tegang.
“Ti.. tidak ada apa-apa.”
“Tapi kau terlihat tegang.”

            Hebat, ia juga dapat ber-ekspresi dengan baik juga membaca ekspresiku. Yang aku takutkan sekarang adalah ia juga mungkin sudah tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tunggu! Benar, semalam jaketku terbuka bahkan sampai baju robotku terlihat. Mungkin ia yang membukanya. Kupikir Vincent yang telah tahu aku ini robot juga pasti tidak akan membukanya, buat apa?

Vincent??? Apa dia dalam bahaya? Apa Aiden juga salah satu robot berlabel ‘L’ ?

“Spencer-ssi?”
“Ya?”
“Kau... Kalau aku boleh tahu. Apa hal yang kau sukai?”
“Kenapa tiba-tiba begini Jerome-ssi.”
“Ah tidak~ jangan salah paham. Kupikir karena kau saudaranya Marcus, mungkin kalian memiliki kesukaan yang sama.” Aku berusaha untuk membongkar identitasnya diam-diam, “Karena Marcus benar-benar kesal saat kau izin menginap dengan temanmu, jadi aku ingin membujuknya.”
“Aku suka makanan manis, buah dan susu. Tapi kupikir Marcus tidak menyukai semua itu, satu hal yang kutahu tenteng dirinya adalah ia pecandu Game.”

‘Bagaimana ia bisa tahu? Aku benar-benar harus waspada terhadapnya.’

“Benar, mungkin aku harus membelikannya game komputer terbaru untuknya. Hahaha.” Aku berhenti sejenak untuk memikirkan sesuatu. “Bagaimana dengan Aiden-ssi?”
“Dia bukan siapa-siapa.” Jawabnya datar.
“Maaf?”
“Ehm.. maksudku... dia.. teman kuliah, ya kuliah! Dia.. dia temanku di Universitas dulu.”
“Begitukah?” kupikir jawabannya itu membuktikan ia tidak terlalu mengenal Aiden. Dan Aiden tidak patut dicurigai.
“Kau kenal Marcus dari mana?” sekarang gilirannya menyerangku.
“Waktu itu ia menolongku saat aku baru ke kota ini.” Jawabku jujur.
“Marcus memang orang yang baik walaupun agak menjengkalkan kan?” aku mengangguk “Tap pagi tadi, saat kau ke kamarnya. Sepertinya aku melihat sepeda.”
“Se... sepeda?!” aku gugup takut ia mendengar apa yang kami bicarakan tadi pagi, “Hahaha, benar. Ia baru memulai hobinya mengoleksi barang antik. Kau tahu ia orang yang sangat berhati-hati kan? Maka dari itu ia menyimpannya di kamar.” Obrolan kali semakin jauh, semakin penuh dengan kebohongan.

‘Bibibibib.....’ rupanya ponsel Spencer. Ia berbicara perlahan, lalu sesekali mengangguk. Setelah menutup ponselnya ia menoleh padaku.

“Kita sudah ditunggu, ayo pulang!”

~TBC~

Thank you for reading, comment for the next part
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!!!
Cr : matha-kpop.blogspot.com
fanfiction & cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushiee@ymail.com / Park Seul Chan 

1 komentar:

  1. Apa L-86 bakal jadi musuh Y-84?
    Author, ceritanya cepet dibuat ya... Jebal... :)

    BalasHapus