Genre : Crime, Friendship, Fantasy
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus Cho
Support Cast :
Sungmin as Vincent Lee
Eunhyuk as Spencer Lee
Donghae
as Aiden Lee
"WAAAA"
teriakan beberapa pria menggema di seluruh ruangan setelah lampu tiba-tiba
menyala.
Segera aku menyembunyikan sejataku setelah
mataku melihat Spencer dengan piyama kuning cerah yang berantakan menempel
ditubuhnya. Sedangkan seseorang berbalut jaket hingga menutupi separuh wajahnya
yang kuyakini adalah perempuan itu berdiri tegak di samping Spencer.
Setelah terduga penjahat itu dibongkar
identitasnya aura diruangan ini berubah drastis. Sangat memalukan. Marcus yang
tidak bisa menyembunyikan senjatanya malah berpura-pura memukuli paku yang sudah
digantungi pigura foto. Dan sekarang pakunya menancap terlalu dalam, mungkin
foto itu juga akan terus disitu selamanya. Sedangkan Vincent yang mengandalkan
sapu sebagai senjatanya...
"Huuuh..
Kenapa disini panas sekali?!" ia mengibas-ibaskan sapu di depan wajahnya
yang terlihat kikuk, sampai-sampai ujung sapu beberapa kail mengenai mata serta
hidungnya.
.
. . . .
"Kami
tidak punya rumah, aku diusir karena tidak mau menikah." kata Spencer
mengaku.
"Jadi,
kau kesini..." ucap Marcus.
Spencer
membungkuk untuk memohon, "Aku mohon biarkan kami tinggal disini!" ia
bahkan juga memaksa temannya untuk ikut membungkuk.
"Emm..
Spencer, sepertinya kata-katamu kurang 'Setidaknya sampai kami mendapatkan
rumah atau pekerjaan' kan?" usul Vincent.
"Tidak
mungkin kau tinggal disini. Rumah ini kecil, bahkan aku tidak tahu bagaimana ia
bisa tidur di tempatku kemarin!" tunjuknya padaku. "Bagaimana aku
bisa mempercayaimu, kalau aku tidak benar-benar mengenalmu. Dan sekarang... Kau
minta tempat tinggal sambil membawa wanita?!" Marcus sepertinya meledak.
"Wanita?
Maksudmu..." Spencer membuka tudung jaket temannya itu, yang menampilkan
wajah lesu seorang pria cantik. "Dia? Hei, kau bicaralah!"
"A...
Annyeong Haseyo? Namaku Aiden Lee." suara pria-nya keluar dengan gugup.
"Baiklah,
lima pria di satu rumah kecil yang hampir rubuh. Ide yang bagus. Selamat
malam!" Marcus berjalan cepat naik ke atas, disusul Vincent yang
terlambat.
Belum sempat kami menoleh dari tangga, mata
kami melihat Vincent kembali menuruni tangga dengan wajah kusut.
Ia
mengarahkan jempol melewati bahunya. "Dia mengunci kamar."
"Baiklah,
kita lakukan dengan caramu." usulku pada Spencer.
Dan akhirnya kami berempat berakhir bersama di
lantai ruang tamu. Spencer dari tadi mengusap perutnya, membuat siku kanannya
terus mengenai lengan kiriku. Lalu Vincent yang tertidur lelap di sebelah
kananku memblokirku dengan kaki kirinya.
"Spencer-ssi,
kau sudah tidur?" tanyaku pelan.
"Sudah."
Aku
menengok padanya, dan melihat matanya masih terbuka. "Kenapa kau tidak mau
menikah?"
"Wanitanya
bukan tipe-ku."
"Jadi..."
aku mulai memikirkan hal yang aneh.
Lalu
Spencer menatap tajam padaku. "Dia bukan siapa-siapa, dia hanya teman
senasib."
"Haha,
baik. Oh ya, tadi kenapa ada suara berisik? Dan juga kulihat lantai atas
berkedip saat lampu dibawah mati."
"Lampu
koridor atas tadi mati, lalu Aiden mau menggantinya. Karena tidak ada kursi
jadi terpaksa aku menggendongnya." ia berhenti sebentar untuk mengambil
nafas panjang. "Dan ia tidak melakukannya dengan cepat, jadi lampunya terus
bergoyang. Dan suara berisik itu? Anak tetangga memainkan petasan, aku saja
hampir gila mendengarnya."
"Darimana
kau tahu?"
"Aku
melihatnya dari jendela atas."
"Cukup
kalau begitu, kau tidurlah! aku mungkin akan terjaga karena besok hari
libur."
.
. . . . . .
Aku membuka mataku, orang-orang yang semalam
bersamaku kini sudah menghilang, kulihat bajuku berantakan dan kancing jaketku
yang terbuka memperlihatkan baju robotku. 'Apa yang terjadi semalam?'
"Pagi
Jerome-ssi!" Spencer meneguk kopi paginya setelah menyapaku.
Aku
buru-buru mengancingkan jaketku, "Uh.. mmm, pagi." lalu aku menyadari
pagi yang sepi ini mengingat semalam 5 pria tidur disini. "Kemana yang
lain?"
"Aiden
dan Vincent pergi keluar mencari sarapan. Dan Marcus masih belum keluar dari kamar."
aku mengangguk sambil menarik nafas. "Mau keluar? Bagaimana kalau
jogging?"
"Serius?"
ia melebarkan bibirnya membentuk sebuah senyum. "Baiklah. Aku akan bicara
pada Marcus dulu."
Buru-buru aku naik ke atas sebelum senyumnya
itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Setelah sampai di atas, aku menuju
pintu kamar Marcus dan berusaha memutar kenop pintu yang tidak mau terbuka.
Akhirnya, aku mengetuk pelan pintu yang terkunci dari dalam itu, sambil
mengucapkan beberapa kata manis.
Tak lama kenop pintu berputar. Pertama-tama
pintu terbuka sedikit dan menampilkan mata yang lelah ditutupi kacamata besar.
Kupikir tadinya ia hantu, tapi setelah ia melihatku ia langsung membuka pintu
lebar-lebar dan menarikku masuk.
Ia
membanting pintu saat aku sudah masuk. "Aku senang kau kemari. Kau tidak
bersama siapa-siapa kan? Apa kau baik-baik saja?" Marcus menanyaiku tidak
sabaran, ia juga mengusap-usap lenganku sedari tadi.
Aku
menyingkirkan tangannya perlahan, "Ya tidak apa. Lalu apa kau tidak
apa-apa?" tanyaku saat melihat kamarnya yang berantakan, juga dirinya yang
kacau.
"Apa
aku boleh bertanya?"
"Silahkan
saja."
"Apa
benar kau dari masa depan?"
"Benar."
"Bisakah
kita kesana?" katanya dengan sangat bersemangat.
"Maksudmu?"
"Ke
masa depan! Lihat!"
Ia menunjukkanku sebuah benda aneh, yang kalau
dilihat-lihat bentuknya seperti sepeda dengan banyak barang yang memberatkan-nya.
Bahkan aku tidak yakin itu bisa dikendarai. Aku mendekat untuk memastikan benda
apa itu.
"Ini
apa?"
"Time
Machine." jawabnya singkat tapi masih menunjukkan ekspresi semangat.
"APA?!"
"Sttt...
Dengar, aku sangat penasaran jadi semalam aku berusaha membuatnya. Ini belum
sepenuhnya selesai, kalau sudah selesai aku akan mengajakmu mencobanya. Juga,
jangan bilang siapa-siapa ya?"
"Baiklah."
aku bejanji. "Oh ya, aku cuma mau bilang Spencer mengajakku jogging, kau
mau ikut tidak?"
"Aku
lelah."
"Baiklah,
aku mengerti." aku menepuk pundaknya dua kali lalu keluar.
Aku kembali membalikan badanku untuk
menutup pintu, tapi saat aku hendak menuruni tangga Spencer berdiri di depanku
sambil menatapku dengan aneh. Tapi kemudian ia menyodorkan segelas kopi panas
dari tangan kanannya. Aku menerimanya sambil buru-buru menuruni tangga dan
sampai dibawah aku langsung duduk di kursi dapur di samping ruang tamu.
Aku terus meniupi kopiku, sambil
menunduk sesekali aku melihat Spencer yang selalu berubah posisi tiap aku
melihatnya. Ia membuka baju piyamanya lalu menggantinya dengan baju Training.
Ia
menoleh tajam padaku. “Jadi ikut tidak?”
“Hah,
apa?” tanyaku gugup, “Ahh jogging?” ia mengangkat bahunya mengiyakan. “Baiklah,
aku ikut.” Aku langsung bangkit dari kursiku dan berjalan duluan ke arah pintu.
“Kau
tidak ganti baju?” panggilnya.
“Aku?
Hmmm.. aku tidak punya baju ganti.” Kataku jujur. Saat ini aku mengenakan jaket
dan juga celana jeans yang cukup nyaman, sepertinya aku tidak perlu
menggantinya.
Lalu
ia berjalan mendahuluiku, “Kalau begitu nanti mampir ya ke toko pakaian.”
Satu jam sudah kami berjalan,
sekarang waktunya istirahat. Kami berdiam diri di pinggir danau dan ditemani
pohon rindang. Aku tidak benar-benar merasa lelah, dan aku juga hanya
meneluarkan sedikit keringat, lain halnya dengan Spencer yang bagian kerah
bajunya basah kuyup. Beberapa kali ia menyeka keringat di dahinya sambil
menarik nafas panjang. Sejauh yang aku lihat, sepertinya Spencer tidak
menunjukkan hal-hal yang aneh. Tapi aku rasa ada sesuatu darinya yang berbeda
dari manusia lainnya.
Memberanikan diri aku menggunakan
sisa energi-ku untuk segera menganalisanya. Pandanganku berubah menjadi
pandangan robot, yaitu tembus pandang. Aku menoleh ke wajah Spencer, dan
alangkah terkejutnya aku melihat wajah mesin serta bola mata biru menempel
disana. ‘Apa ini? Apa dia juga dari masa
depan?’ Aku kembali menelusuri tubuhnya selagi ia memejamkan mata, di paha
kirinya terdapat sebuah Automatic
Electric Pistol yang dapat melumpuhkan siapa saja. Kemudian aku dikejutkan
oleh suaranya yang memanggilku, dan aku dengan cepat kembali menatap wajahnya,
dan terlihatlah sebuah tulisan kecil di pipi kanannya ‘L-86’.
“Kau
tidak apa?” tanyanya, mungkin saat melihat ekspresi wajahku yang tegang.
“Ti..
tidak ada apa-apa.”
“Tapi
kau terlihat tegang.”
Hebat, ia juga dapat ber-ekspresi
dengan baik juga membaca ekspresiku. Yang aku takutkan sekarang adalah ia juga
mungkin sudah tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tunggu! Benar, semalam jaketku
terbuka bahkan sampai baju robotku terlihat. Mungkin ia yang membukanya.
Kupikir Vincent yang telah tahu aku ini robot juga pasti tidak akan membukanya,
buat apa?
Vincent??? Apa dia dalam
bahaya? Apa Aiden juga salah satu robot berlabel ‘L’ ?
“Spencer-ssi?”
“Ya?”
“Kau...
Kalau aku boleh tahu. Apa hal yang kau sukai?”
“Kenapa
tiba-tiba begini Jerome-ssi.”
“Ah
tidak~ jangan salah paham. Kupikir karena kau saudaranya Marcus, mungkin kalian
memiliki kesukaan yang sama.” Aku berusaha untuk membongkar identitasnya
diam-diam, “Karena Marcus benar-benar kesal saat kau izin menginap dengan
temanmu, jadi aku ingin membujuknya.”
“Aku
suka makanan manis, buah dan susu. Tapi kupikir Marcus tidak menyukai semua
itu, satu hal yang kutahu tenteng dirinya adalah ia pecandu Game.”
‘Bagaimana ia bisa tahu? Aku
benar-benar harus waspada terhadapnya.’
“Benar,
mungkin aku harus membelikannya game komputer terbaru untuknya. Hahaha.” Aku
berhenti sejenak untuk memikirkan sesuatu. “Bagaimana dengan Aiden-ssi?”
“Dia
bukan siapa-siapa.” Jawabnya datar.
“Maaf?”
“Ehm..
maksudku... dia.. teman kuliah, ya kuliah! Dia.. dia temanku di Universitas
dulu.”
“Begitukah?”
kupikir jawabannya itu membuktikan ia tidak terlalu mengenal Aiden. Dan Aiden
tidak patut dicurigai.
“Kau
kenal Marcus dari mana?” sekarang gilirannya menyerangku.
“Waktu
itu ia menolongku saat aku baru ke kota ini.” Jawabku jujur.
“Marcus
memang orang yang baik walaupun agak menjengkalkan kan?” aku mengangguk “Tap
pagi tadi, saat kau ke kamarnya. Sepertinya aku melihat sepeda.”
“Se...
sepeda?!” aku gugup takut ia mendengar apa yang kami bicarakan tadi pagi,
“Hahaha, benar. Ia baru memulai hobinya mengoleksi barang antik. Kau tahu ia
orang yang sangat berhati-hati kan? Maka dari itu ia menyimpannya di kamar.”
Obrolan kali semakin jauh, semakin penuh dengan kebohongan.
‘Bibibibib.....’
rupanya ponsel Spencer. Ia berbicara perlahan, lalu sesekali mengangguk.
Setelah menutup ponselnya ia menoleh padaku.
“Kita
sudah ditunggu, ayo pulang!”
~TBC~
Thank you for reading, comment for the next part
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!!!
Cr : matha-kpop.blogspot.com
fanfiction & cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushiee@ymail.com / Park Seul Chan
Thank you for reading, comment for the next part
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!!!
Cr : matha-kpop.blogspot.com
fanfiction & cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushiee@ymail.com / Park Seul Chan
Apa L-86 bakal jadi musuh Y-84?
BalasHapusAuthor, ceritanya cepet dibuat ya... Jebal... :)