Sabtu, 06 Oktober 2012

Super Junior YeKyu Fanfiction : LOST part 7




Genre : Crime, Friendship, Fantasy, Adventure
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Language : Bahasa Indonesia / English
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus Cho
Sungmin as Vincent Lee
Support Cast :
Siwon as L407/ Andrew Choi
Kibum as Prof. Kim


Aku keluar, udara dingin yang terasa sangat menusuk membuatku berlari menuju mobil yang hanya terparkir 5 meter dari toko, aku masuk lalu mengunci pintu mobil Vincent masih terlelap sedangkan Marcus tengah menatap tajam sebuah kertas kecil yang kuyakini kartu nama Leeteuk.


"Minum ini!" kataku sambil menyodorkan sebotol air mineral padanya.
Sepertinya ia kaget saat aku menyengol pelan bahunya dengan botol, setelah memandangku ia melemparkan pandangannya ke botol yang masih kupegang kemudian mengambilnya. "Thanks."

Ia menengak habis isi botol itu dengan terburu-buru, dan setelah itu ia menarik nafas panjang. Matanya kosong tanpa harapan mengetahui mungkin sahabatnyalah yang merupakan pelaku kejahatannya, padahal sebelumnya aku melihat matanya seperti memancarkan semangat yang berapi-api untuk dapat menyelamatkan bumi.

"Tidak mungkin kan?" Marcus berbisik.
"Apa?"
"Tidak mungkin kan... Leeteuk, maksudku Denis melakukan ini?"
"Mungkin saja." jawabku jujur. "Seseorang bisa berubah kapan saja."
Tiba-tiba Marcus memandang tajam padaku, "Kenapa bilang begitu?!"
"Kalau ia temanmu waktu dulu, tidak mungkin ia melakukan hal aneh kalau tidak ada yang mempengaruhinya." kini mata Marcus menyiratkan kemarahan. "Jika kau ingin temanmu kembali, ajaklah ia kembali. Kaulah yang bisa merubahnya, kau bisa menyingkirkan hal-hal buruk yang melekat pada Dennis."
Kini matanya tampak sedih. "Itu tidak mungkin terjadi, aku tidak akan bisa merubah sesuatu..."
"Terus saja bicara seperti itu! Maka itu yang akan terjadi."

Ia menatap mataku dalam-dalam, berharap aku bisa membaca yang sedang ia pikirkan sekarang. Tapi, walaupun tahu aku tidak akan bicara duluan. Aku menunggunya...

"Apa yang harus aku lakukan?"
"Tergantung padamu, Marcus-ssi." Ia meraih kedua pergelangan tanganku, matanyalah yang kembali berbicara. "Bagaimana aku bisa memberimu solusi yang tepat, kalau aku sendiri diciptakan dari pemikiranmu?" mendengar itu perlahan ia melepaskan gengamannya.
"Kau benar." kemudian tiba-tiba saja ia keluar dari mobil, lalu menuju ke pintu dimana aku duduk. "Keluar!  Aku yang mengemudi!"
"Kau bisa? Tanganmu..."
"Bagaimana jika aku berpikir kalau aku bisa, apa itu cukup?!"

Ia benar-benar mendengarkan apa yang kukatakan tadi. Lalu aku pun mematuhinya untuk bertukar kemudi. Dengan tak sabar Marcus buru-buru menghidupkan mesin mobil lalu menggerakkan tangannya perlahan untuk memutar stir, dan belum lama Marcus mengemudi, Vincent terbangun.

"Jerome-ssi? Kapan kita kembali melanjutkan perjalanan?" tanyanya sambil mengusap-usap matanya.
"Hm, kau sudah bangun? Kita sedang jalan."
Vincent menoleh ke arah kemudi. "Mar... Marcus-ssi! Apa yang kau lakukan?"
"Aku? Mengemudi."
"Maksudku kenapa kau yang mengemudi? Bukankah tanganmu..."
"Jangan khawatirkan aku! Aku sedang mengemudi, jadi tolonglah diam dulu."

Vincent menurut, sampai akhirnya Marcus menghentikan mobil di depan sebuah gedung tanpa penjagaan.

"Apa benar ini tempatnya?" tanya Vincent tidak tahan.
"Sttt.. Salah satu dari kita harus coba cek ke dalam." ujar Marcus.
"Kalau begitu aku yang masuk."

Tanpa menunggu persetujuan keduanya, buru-buru aku membuka pintu mobil untuk kembali merasakan udara dingin yang aneh. Benar-benar sangat aneh, udara disini seperti terkontaminasi sesuatu yang membuat udara disini menjadi berbau juga agak terlihat kehijauan. Untuk sesaat Marcus mencegahku, menatap mataku lama dan kemudian dia menyodorkan sebuah pistol padaku.

"Berhati-hatilah." pesannya.

Aku mengangguk, lalu segera bergegas masuk. Di dalam benar-benar sepi, aku pikir apa mereka sudah pindah? Karena tetap harus berhati-hati aku berjalan dengan menepelkan punggungku di tembok lalu pelan-pelan menengok ke beberapa belokan, sampai akhirnya aku melihat seseorang. Atau mungkin sesuatu.
Satu manusia robot dan yang satu lagi manusia asli, mereka tampak berbincang-bincang. Robot itu tampak sambil memperhatikan kesekeliling, beberapa kali aku harus merunduk supaya tidak terlihat. Sekitar 5 menit berlalu mereka berpencar, dan si robot berjalan ke arahku dengan wajah panjangnya yang gugup, juga lesung pipit dikedua pipinya terlihat karena ia merapatkan bibirnya.
Bingung, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi dia sampai akhirnya ia melintas tepat didepanku, untungnya ia tidak menengok. Jadi cepat-cepat aku mengunci lehernya dengan lenganku lalu menariknya ke sebuah loker tempat penyipanan alat kebersihan yang sesak, memang agak sulit karena ia sedikit lebih tinggi dariku. Tapi hanya itulah tempat sepi yang bisa membuat kami tidak terlihat.

"Kode peringatan... Kode peringatan..." teriaknya, buru-buru aku menyekap mulutnya dengan telapak tanganku.
"Sttt... Diam dan turuti perintahku, maka tidak akn terjadi hal yang buruk padamu." den dengan sekejap ia langsung diam, aku menyingkirkan tanganku perlahan. "Kau siapa? Dan siapa yang menciptakanmu?"
"Aku L 407 , dan aku di buat oleh L Company."
"L?! Siapa dia?"
"Kau siapa? Apa kau manusia?"
"Apa?"
"Apa kau manusia? Cepat jawab aku!" ia malah balik memerintahku.

Nada bicara robot itu sekarang terdengar normal, keluar nada kekhawatiran dari mulutnya yang membuatku sontak terkejut.

"Jika kau adalah robot pembunuh, aku tidak akan menjawabnya."
"Aku bukan. . ."
"Buktikan saja, jangan banyak bicara!"

Ia sepertinya agak terkejut, ia diam beberapa saat. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu, tak lama kemudian jari telunjuknya menunjuk ke bola matanya yg menyala.

"Lihat ini apa?"
"Matamu?" tebakku.
"Tepat. Dan juga berwarna hijau." aku diam tengah berpikir keras. "Robot yang kebanyakan berserakan di jalanan sekarang yang juga berlabel L itu matanya merah. Kami berbeda! Mereka jahat!"
"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut dulu denganku.

Ia mengangguk, lalu mengikutiku perlahan menuju jalan keluar. Mobil kami masih terparkir di depan pintu utama, aku mengetuk kaca pintu depan karena pintu mobil terkunci. Marcus buru-buru membuka kunci lalu menarikku masuk.

"Separah apa?" tanyanya.
"Apa sangat buruk?" timpal Vincent, mungkin karena terlalu lama menungguku mereka terlihat begitu tegang.
"Tidak tahu. Aku belum melihat apa-apa."
"Jerome-ssi sekarang bukan waktunya bercanda!" teriak Vincent.
"Tapi aku punya hal yang lebih baik. Wait..."

Aku membuka sedikit pintu mobil, lalu mengeluarkan sebelah lenganku untuk memberitahu L 407 yang tadi bersembunyi di belakang mobil untuk mendekat. Aku menyuruhnya masuk, dan duduk di jok belakang bersama Vincent.
Tapi saat dia masuk dan duduk tiba-tiba Vincent mengacungkan dagger padanya, tapi ia malah tidak bergerak dan hanya menatap mata Vincent.

"Vincent sabar dulu, turunkan senjatamu!" perintahku.
"Siapa dia?! Salah satu dari robot jahat L?"
"Tenang dulu, kita akan membicarakannya baik-baik."

Vincent berusaha men-stabilkan nafasnya yang terengah tadi, dan menurunkan senjatanya. Aku lega Marcus masih bisa menahan marahnya, walaupun aku tahu ia sudah hampir mendidih.

"Sepertinya kalian tidak nyaman satu sama lain." aku menoleh ke arah Marcus. "Lebih baik kita kembali bertukar tempat."
"Kita pergi?"
"Kau pindah ke belakang, biar dia duduk disampingku."

Aku memutar balik mobil dan pergi ke sebuah rumah modern yang tak berpenghuni. Aku takut jika kembali ke rumah para penjaga itu masih disana.
Kami duduk d sofa yang mengelilingi meja kecil, sambil menunggu Vincent yang sedang membuat mie instan kami bertiga duduk kaku tanpa suara. Rasanya beberapa pertanyaan frontal yang ingin kukeluarkan kini tersendat dan mencekik tenggorokkanku.

"Eumm..L 240 .. Kau?" kataku tergagap berusaha membuka pembicaraan.
"Panggil saja Andrew.. Andrew Choi."
"Kau punya nama seperti itu?"
"Well, aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Aku dan Marcus bertukar pandang, "Dari mana kau dapat nama itu?" aku bertanya duluan, apakah sama sepertiku yang mengarang nama sendiri.
"Prof. Kim yang memberiku nama itu."
"Prof. Kim?"
"Aku tidak dapat menyebarkan namanya begitu saja. Tapi aku bisa memberitahu siapa dia." aku menunggu. "Dia adalah orang yang menciptakanku... Berbeda. Dilihat dari sisi L Company ia pemberontak, dia ingin mengembalikan kedamaian dengan menciptakanku."
"Dimana dia sekarang?" tanya Marcus.
"Ia aman di L Company, identitasnya belum terbongkar."
"Apa dia orang yang berbicara padamu tadi?"
"Benar, kau sudah melihatnya." ia menggerakan jemarinya yang belum tertutup kulit layaknya wajahnya, jemarinya masih jemari robot walaupun sudah dapat bergerak dengan sempurna. "Aku disembunyikan di lantai bawah, kau lihat kan tadi disana sepi? Karena penjagaan ketat ada di lantai dua. Sengaja mereka membuatnya begitu agar penyusup tidak mudah melarikan diri."

Obrolan kami lumayan panjang, sampai akhirnya Vincent datang sambil membawa nampan dengan 4 mangkuk ramen diatasnya.

"Aku tidak tahu apa kau makan, tapi silahkan." kata Vincent pada Andrew.
Benar juga kata Vincent, "Apa kau makan?" tanyaku.
"Bahan bakar organik." jawabnya singkat.
"Kau sama sepertiku..." aku mengalihkan pandangan ke Marcus. "Jangan-jangan..."
"Apa? Tidak mungkin aku yang menciptakannya, walaupun aku menyamarkan namaku aku tidak akan memakai marga 'Kim'." tolaknya, "Apa kau bisa merasakan makananmu?"
"Tidak."
"Lihat?!" ujar Marcus, "Sedangkan kau bisa Jerome-ssi."
"Lebih baik segera habiskan makanan kalian lalu segera menyusun rencana melumpuhkan L Company." perintah Vincent.

Kami hanya diam sambil menghabiskan ramen kami masing-masing. Aku benar-benar terisi penuh sekarang. Marcus tidak menghabiskan makanannya, mungkin ia terlalu muak untuk mencerna makanannya sekarang.

"Andrew-ssi, apa kau punya kekuatan?"
"Sedikit. Aku punya jet pack, dan pistol laser, juga bisa lari dengan kecepatan 120 km per jam."
"Jadi bagaimana caranya kita masuk?" tanya Marcus buru-buru.
"Seperti yang kubilang tadi pengamanan mereka dimulai dari lantai dua di setiap sudut, tangga darurat, lift, dan ventilasi. Beberapa pintu juga dilengkapi dengan pengamanan ketat. Kita bisa masuk dengan pemindai retina dan ID Card."
"Itu pasti sulit." Keluh Vincent.
"Prof. Kim pasti bisa membantu kita masuk." kata Marcus.

Prof. Kim tidak diperbolehkan keluar, lebih tepatnya profesor dan para staff tidak diizinkan keluar kecuali para robot. Jadi, satu-satunya cara yang aku pikirkan adalah kita harus kembali kesana dan menemui Prof. Kim secara langsung. Dan tanpa basa-basi mereka semua lanakutgsung setuju.
Andrew menuntun kami melewati lorong lantai satu menuju tempat persembunyiannya dengan cepat. Aku membayangkan dinding-dinding lorong seakan dapat menelan kami kapan saja, baja yang melapisi dinding sudah berkarat juga menghasilkan bau yang tidak enak.

“Disini!” suara Andrew menyadarkanku.

            Kami masuk. Dan alangkah terkejutnya aku didalam sana berantakan bukan main, cepet-cepat aku menatap Andrew yang terlihat kebingungan.

“Emm.. Sorry, tidak ada waktu untuk bersih-bersih.” ia melirik arloji di pergelangan tangan robotnya, “Aku akan ke atas memanggil Profesor Kim. Kalian tunggu dulu disini!”
“Tapi, apa kau bisa kesana?”
“Oh, iya aku lupa…” ia melepaskan kulit wajahnya, lalu menampakkan wajah yang lain yaitu wajah berwarna abu-abu dan agak mengkilap. Benar wajah robot, aku belum pernah mencoba melepas kulit wajahku. Takutnya aku tidak bisa memasangnya kembali.

            Andrew juga mengubah warna matanya, sekarang ia terlihat mirip dengan robot-robot biasa yang harus kami lakukan selama menunggu.

. . . . . .

“Jerome-ssi…” suara berat yang terdengar sedih membuatku menoleh seketika, “Apa kau yakin Andrew…” Marcus berbicara tanpa memandangku, juga tangannya sibuk memutar-mutar kotak rubik. “Hmm.. ya, maksudku. Apa Andrew yakin akan membantu kita?”
“Kelihatannya kau mulai sensitif ya?” cibirku, ia tersenyum menarik sedikit sudut bibirnya. “Tenang saja, aku rasa Andrew tidak apa. Bukankah beruntung kita memilikinya?”
“. . . .”
“Huft, sebenarnya siapa sih yang menyebabkan semua ini terjadi? Aku tidak suka badanku kotor begini!” Keluh Vincent.
Marcus menoleh cepat setelah Vincent menyelesaikan perkataannya. “Vincent-ssi!”
“Oh, iya.. Sorry.” Sambil mengatakannya Vincent menempelkan ujung-ujung jarinnya ke bibir tipisnya. “Harusnya kau buat penemuan lain saja, misalnya alat rumah tangga otomatis?”

            Marcus menggelengkan kepalanya sambil tertunduk lesu.
            Aku ingin bilang bukan sepenuhnya Marcus atau ciptaannya, aku, yang menyebabkan ini semua terjadi. Tapi kalau aku bilang L Company-lah yang menyebabkan ini semua, bisa-bisa kami tidak akan bisa melanjutkan misi kami, dan hanya mati sia-sia.
            Yang pernah aku dengar dari Prof. Marcus saat itu hanyalah, bahwa L Company mengincarnya untuk dapat membuat robot dengan sempurna juga di lengkapi dengan persenjataan hebat yang tersembunyi. Tapi Prof. Marcus menolaknya, dan tidak lama setelah itu L Company dapat membuat tentara robotnya sendiri. Walaupun belum sempurna tapi cukup untuk menghancurkan sebuah lab kecil di pinggir kota. Ya, lab dimana aku dibuat.

“Marcus-ssi…” panggilku, ia menoleh singkat karena masih menyibukkan mata, tangan dan otaknya untuk memutar-mutar kotak rubik. “Apa kau…” aku tidak tahan ingin mengucapkan apa yang barusan aku pikirkan, aku mencoba keras untuk menahannya.
“Apa? Ada yang kau inginkan?” ia menghentikan jemarinya, dan segera menatapku.
“Kemarikan!” aku merebut rubik yang belum selesai dari tangannya. “Aku kesal melihatmu tidak bisa menyelesaikan rubik 3x3. Seorang profesor tidak boleh begini, kau harus mengasah otakmu kembali. FOKUS!” kataku marah.
“Jerome, are you okay?” tanya Vincent gelisah, “Perlu aku carikan air dingin?”
Aku mengembalikan rubik yang telah selesai kembali ke Marcus yang terlihat sedikit shock, lalu aku menghela nafas “Thanks, tidak apa aku hanya stress cerita ini belum terlihat ujungnya.”
“Apa karena perkataanku tadi?”
“Ah bukan, sudah tidak apa. Jangan dipikirkan!” kataku yang saat ini sudah lebih lunak.

            ‘BRAKK!’
            Pintu lab dibanting, lalu menampilkan dua wujud manusia yang tampak asing.

“Maaf mengagetkan kalian, ini…”
“Tunggu dulu!” sela Vincent, “Andrew-ssi, bisa tolong kenakan kembali kulit wajahmu? Melihatmu begitu membuatku tidak nyaman.”

            Andrew menurut, ia mendekati meja dimana aku duduk dan sambil memakai, umm… ya, wajahnya ia menunjuk seorang pria bersurai hitam, memakai kacamata juga mantel putih ala dokter. “Itu Prof. Kim.”
Orang yang ditunjuk Prof. Kim tadi mendekatiku lalu mengulurkan tangan kanannya, “Halo,” ucapnya ramah.
“Hm, ya apa kabar?” balasku kaku.
“Jadi kalian akan membantu kami?” kata Prof. Kim langsung ke inti permasalahan.
“Sebenarnya kami-lah yang mengharapkan bantuan kalian.”
“Begitukah?” ia membenarkan letak kacamatanya, “Aku bingung harus mulai dari mana…”
“Apa kita punya banyak waktu?” ujar Marcus yang sedari tadi menempel di pojok ruangan.
“Hm, lumayan ban…” Prof. Kibum meliriknya, “Oh my… Prof… professor… Marcus! Benar itu kau?!” wajah Prof. Kim memerah saat berusaha mendekati Marcus, tangannya juga bergetar. “Marcus?!”
“Kau mengenalku?”


. . . . . . . . .
~TBC~
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!
Thank's For Reading and RCL Please
^_^

story and cover by @MarthAngel1004 / marthasc_143@yahoo.co.id
cr : martha-kpop.blogspot.com

Read More..

Super Junior YeKyu Fanfiction : LOST part 6




Genre : Crime, Friendship, Fantasy, Adventure
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus Cho
Sungmin as Vincent Lee

 “Kita harus mencoba mesin waktu itu lagi.”
“Tapi... kami tidak bisa melakukannya tanpamu.” Ucap Vincent lirih.
“Aku ikut.” Jawab Marcus singkat, “Berdiam diri di sini juga tidak akan ada gunannya. Aku bisa mati konyol.”

            Kemudian saat Marcus duduk di sofa, aku mengangkat tubuhku lalu beranjak ke bangkai robot ‘L-86’. Aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu kami, misalnya sabuah chip yang menyimpan apa yang robot pikirkan, sama halnya sepertiku yang juga mempunyainya.
            Aku membuka bagian belakang kepalanya yang setengah hangus. Tadinya aku berencana membukanya dengan perlahan tanpa maksud apapun, tapi karena aku hampir mati karena kesal berusaha membuka kerangka kepalanya, dengan sangat terpaksa aku menghancurkan kerangka itu dengan kayu sisa dari kursi yang hancur.
            Lalu aku menoleh singkat pada Marcus dan Vincent untuk melihat reaksi dari suara ribut yang ku hasilkan tadi, saat melihat ekspresi wajah mereka yang agak kaget aku sedikit mengembangkan senyumku. Dan segera fokus kembali terhadap apa yang sedang aku kerjakan tadi. Mencari sesuatu yang kecil diantara benda kecil lainnya. Lampu padam, memang benar ide gila memecahkannya tadi. Aku heran kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padahal bisanya robot di ciptakan agar bisa menghasilkan sesuatu yang lebih efisien, tapi lihat aku sekarang malah mempersulit diriku sendiri.

Akhirnya omong kosongku tadi cukup berguna, “Ini dia.” Aku menunjukkan sebuah chip kecil yang untung belum terbakar kepada mereka. “Kita coba ini dulu di PC.”

           Dengan segera Vincent membawa sebuah laptop turun kebawah, lalu memberikannya padaku. Aku memasukkam chip tadi dengan hati-hati ke slot USB, dan laptop-nya bereaksi. ‘Open File’ , beruntung chip ini tidak dilindung password jadi dapat dengan mudah kami akses.
        Terlalu banyak folder... satu per satu aku membukanya. Hanya sekumpulan file program. Kesal mencari mana isi ‘otak’ ini, akhirnya aku menyerah setelah folder yang ke 486, aku berdiri lalu menjauh dari benda yang bisa membuatku gila itu.

“Kita tidak bisa terus disini dan melakukan hal tidak berguna.” Kataku pelan.
Keduanya menoleh, “Benar. Sebaiknya kita cepat kesana dulu, sebelum mereka kembali kemari.” Balas Marcus.
“Mungkin ada yang bisa kita bawa? Aku takut disana mungkin tidak ada apa-apa.” Saran Vincent.
Tapi Marcus malah langsung menarik Vincent keluar “Tidak ada waktu!”

Kami berhamburan keluar, untuk kembali mencoba mesin waktu yang Marcus buat. Tapi karena tangannya terluka dan ia juga tidak punya cukup tenaga, maka akulah yang menggantikannya mengayuh sepeda itu. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengayuh sepeda itu secepat mungkin supaya mesinnya bekerja, sedangkan Marcus dan Vincent menggantung pada lenganku agar tidak tertinggal.
Sampai saatnya sepeda itu menyala dan mengeluarkan percikan pada rodanya yang membuat kami berada di dimensi lain. Berputar-putar diruangan kosong dengan warna putih yang terang membuat mataku perih. Maka saat itu, aku memejamkan mataku dan menggenggam stang sepeda kuat-kuat, begitu juga Marcus dan Vincent yang semakin mencengkram lenganku, lalu kami menunggu apa yang akan terjadi selajutnya.
Tanpa sadar tiba-tiba kami terbanting di ubin dingin yang keras, dengan segera aku menapakkan kakiku di lantai, lalu membantu Vincent dan Marcus menggunakan kedua tanganku.

Vincent berhasil berdiri tegak, dan ia langsung mengusapkan ppunggung tangannya ke wajah Marcus yang kotor dan membersihkan mantel dokternya juga, “Kau tidak apa Marcus-ssi?”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Oh, aku... yah, jatuh itu sakit.” Jawab Vincent manis.
“Benar, begitu juga aku yang merasakannya.” Kataku ketus.
“Haha, Jerome-ssi. Jangan cemburu begitu.” Kata Marcus sambil mengeluarkan sedikit suara tawa.
“Dimana ini?” tanya Vincent. “Apa kita mendarat di tempat yang benar?”

            Aku fokus memperhatikan tempat dimana kami barusan mendarat. Tahun 2058, mungkin. Aku berusaha menstabilkan badan dan kepalaku yang terkena goncangan hebat tadi. Rasanya sedikit pusing.
            Saat pandanganku sudah mulai jelas, aku segera mengenali tempat yang sudah setengah utuh ini. Banyak kabel dimana-mana, juga bongkahan-bongkahan atap yang rubuh juga plat-plat metal berserakan disepanjang pandanganku.

“Jerome, apa kita ada di tempat yang benar?” mendadak Marcus menepuk pundakku, membuatku tersadar dari lamunanku. “Disinikah markas rahasia ‘L’?”
Aku berbalik untuk menatap matanya, “Bukan. Tapi ini adalah tempat dimana kau menciptakan aku.”
“Benarkah? Dalam keadaan seperti ini?”
“Tidak,” aku berhenti sebentar. “Kau masih ingat kan apa yang pernah aku ceritakan padamu tentang bagaimana aku bisa ada di zamanmu?”
Marcus mengangguk, “Ah.. iya, kita diserang para robot.”
“Benar.” Kataku lagi sambil kembali mengedarkan pandanganku.
“Jadi apa yang bisa kita lakukan disini?” tanya Vincent tidak sabaran.
“Kalian tunggu dulu disini. Aku akan men-cek keadaan diluar.” Lalu aku pun mendekati pintu depan yang tertutup rapat. Memegang kenopnya saja sudah membuatku merinding, sepertinya jika aku membuka pintu ini tiba-tiba segerombolan orang akan menembakiku hingga mati seketika.

            Tapi aku menyingkirkan pikiran itu dan segera membukanya. Aku tercengang melihat kudapati kota yang hampir setengahnya hancur. Hanya terlihat beberapa bangunan besar yang masih berdiri kokoh, itu juga diselimuti oleh kabut hitam juga beberapa kali kilat menyambar.
            Apa yang telah terjadi? Aku melangkahkan kakiku sedikit, sampai aku menundukkan kepala, banyak robot tak utuh yang berserakan dibawah kakiku. Merasa pernah melihat hal ini aku tidak banyak bereaksi. Aku mendekati benda itu lalu berjongkok di dekatnya, mendekati sebuah kepala setengah hancur dan memusatkan perhatianku pada sesuatu yang tertulis di tulang pipi kanannya. Dari beberapa bangkai robot yang ada disitu hampir semuannya berlabel yang sama yaitu ‘L’ tapi dengan nomer yang berbeda. Sedangkan sisanya tidak berlabel.

Seseorang kembali menepuk pundakku. “Ada apa?”
Aku berbalik lalu mendongak. “Lihat! Mereka semua berlabel ‘L’.”
“Artinya?”
“Prof, mereka ini benda yang sama dengan yang menyerang kita waktu itu.”
“Kau benar, mereka diciptakan dari orang sama. Tapi... oh iya, jangan panggil aku Prof, aku belum mempunyai gelar itu. Pangil Marcus saja seperti biasanya!”
“Ah, Sorry. Walaupun kau lebih muda, tapi benar-benar mirip saat kau pakai kacamata.”
“Maksudmu terlihat tua? Kalau begitu akan kulepas.” Marcus melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya ke saku kiri kemeja putihnya.
“Kau bisa melihat?” tanyaku khawatir, lalu ia menggeleng. “Haha, kalau begitu jangan.”

            Aku menaruh kembali serpihan yang sedari tadi kupegang, dan sambil berdiri aku mengusapkan tanganku pada jaketku. Aku berdiri tepat didepannya, aku mengulurkan tanganku untuk mengambil kembali kacamatanya, lalu aku memasang kacamata itu kembali diwajah Marcus yang tenang tapi terlihat agak sedikit canggung.

“Te... Terimakasih.” Ucapnya gemetar.
“Kenapa gemetar?”
“A.. apa?” Bukan.. hanya saja.” Ia mulai menenangkan dirinya. “Kenapa aku menciptakanmu begitu tampan ya?”
“Aku bukan robot pembunuh, aku perlu bersosialisasi dengan orang lain kan. Tunggu... kau bilang aku tampan?”
Ia memalingkan wajahnya.”Ya... ah sudah lupakan saja!”
“Kau.. iri atau.. tertarik padaku?” tanyaku bercanda. Tapi Marcus malah menganggap leluconku itu serius, ia memelototiku sambil meolak menjawab pertanyanku mentah-mentah.
"YA! Ada apa?!" tiba-tiba Vincent muncul dari balik punggung Marcus.
"Tidak ada. Ayo masuk, cepat buat rencana." perintah Marcus. Aku hanya bisa mengikutinya tanpa berkata apapun, bahkan saat Vincent memintaku bicara.

Duduk disebuah sofa yang masih bisa diduduki kami berdiam diri selama beberapa menit, menunggu sesuatu keluar dari mulut kami secara tidak sengaja. Rasa lelah tiba-tiba menderaku, tenggorokanku yang terasa kering malah membuatku berpikir 'Apa sebenarnya aku ini? Manusia atau benar-benar robot?' aku memegang leherku untuk memasikannya ini tidak apa-apa.

"Jerome-ssi, ada apa?"
Otomatis aku menoleh pada Vincent. "Tidak, hanya saja rasanya lelah sekali."
"Begitukah?" ia terlihat berpikir, "Sayang kau yang harus mengayuh sepeda itu." Marcus yang sedari tadi menundukkan kepalanya langsung menoleh pada Vincent, tapi ia malah memandang ke sekeliling. "Apa ada yang masih bisa kita makan disini?"

Vincent berdiri mencari dimana letak dapur. Setelah menemukannya, ia kembali mencari hampir seluruh laci yang sudah terkena senjata laser mungkin.

"Professor Doktor Marcus Cho. Apa selama penelitian kau tidak makan bahkan sampai umurmu menginjak 70 tahun?" ledek Vincent.
"Apa maksudmu?!" ujar Marcus marah. "Aissh dasar bocah." Marcus menepuk kedua pahanya lalu berdiri menghampiri Vincent. Ia langsung membuka laci atas paling ujung kanan, dan sepertinya menemukan sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah kotak sereal lalu langsung menyodorkannya pada Vincent. "Ini ambil!" tapi Vincent tidak segera mengambilnya. "Kenapa? Ayo cepat ambil!"
Baru Vincent mengambilnya. "Marcus-ssi?"
"Hm?"
"Bagaimana... kau bisa tahu disitu ada sesuatu?"
"Apa maksudmu? Inikan rumahku."
"Iya. Tapi 40 tahun-an lagi."
. . . . . . . . . .
Kami semua bingung, dan aku juga merasakan hal yang aneh sedari tadi. Baru kuperhatikan, rupanya bentuk dan posisi barang-barang disini sama persis dengan rumah Marcus di 40 tahun yang lalu.

"Hmmm.. Tunggu. Buat apa kita memikirkan hal bodoh ini?" sela Marcus, "Bukankah lebih baik kita memikirkan cara kita menyelamatkan dunia?!"

Kami menoleh, memang untuk sesaat aku juga memikirkan hal yang sama. Keindahan bukan segala-galanya bagi seorang ilmuan, hanya saja mungkin Prof. Marcus terlalu sibuk untuk merenovasi rumahnya.

"Yah, benar juga. Kalau begitu ini.." Vincent menyodorkan beberapa lembar kertas kecil. "Kartu nama."
"Benarkah?!" aku langsung menyambar semua kartu itu dan memperhatikannya satu-persatu dengan tidak sabaran. “Kau dapat dari mana?!”

Tapi kemudian kami mendengar suara dobrakan dari pintu depan, dan aku segera melempar pandanganku ke pintu depan. Setelah itu aku langsung menarik mereka berdua lari ke Garasi, dan dengan segera masuk ke dalam mobil Jeep yang biasa Prof. Marcus gunakan untuk mencari bahan-bahan percobaan.
Tidak ada waktu bertanya, langsung aku melemparkan kartu-kartu itu ke Vincent yang duduk di jok belakang, lalu menyalakan mesin mobil yang untungnya masih berfungsi, walaupun aku masih perlu bersusah payah dan sedikit menghabiskan waktu untuk menyalakannya. Terdengar lebih banyak hentakan juga lebih kencang, membuatku harus cepat mengulang beberapa kali saat menstater mobil. Sampai saatnya mobil hidup, aku langsung tancap gas, menerobos pintu garasi.
Pasukan itu sedikit terlambat karena tidak sempat mengejar, maka kami ditembaki dari arah belakang membuat Marcus dan Vincet yang panik menundukkan kepala mereka sedalam mungkin. Sampai akhirnya kami menjauh, tembakan berhenti, dan tidak terlihat lagi dari kaca spion.

"Aishh! Apa mereka bercanda?!" kata Marcus marah. "Masuk ke rumah yang hampir hancur, dan ketika mereka menemukan sesuatu langsung menembak sembarangan."
"Mungkin mereka menandai rumah itu." jawabku.
"Menandai?"
"Seperti sensor gerak. Benda itu mendeteksi adanya pergerakan."
"Bagaimana dengan tikus yang berlarian?"
"Kamera." sambil terfokus menyetir aku berusaha menghapus kekhawatiran Marcus. "Mereka juga pasti memasang kamera di setiap sudut ruangan."
"Dalam ruangan yang pernah mereka serang sebelumnya?!"
“Itu.. karena... karena...” aku menghembuskan nafas panjang.

Setelah perkataan itu, aku tidak tahu harus menjawab apa jadi aku berdiam diri kembali memperhatikan jalanan. Berlama-lama menyetir tanpa tujuan membuatku lelah, jadi aku menghentikan mobil di pinggir jalan kota yang sepi ini di tengah kota.

"Tanpa tujuan hanya akan membuat kita mati konyol kan?" pandanganku mengarah pada Vincent dan Marcus.
Vincent menjawab sambil menundukkan kepalanya, "Benar."
"Vincent-ssi. Kau kenapa?" tanyaku menoleh kebelakang.
". . . ." ia tidak menjawab, ia malah terus memperhatikan kartu yang ada di tangannya.

Melihat hal itu, entah mungkin karena merasa khawatir Marcus segera menyambar kartu itu dan memperhatikan tiap detailnya. Dan tidak lama wajah Marcus pun seketika berubah. Kaget. Aku yang kelelahan hanya bisa memandang mereka dengan pikiran kosong. Tak lama kemudian Vincent mulai menangis.

"Bisa tolong seseorang memberitahu padaku apa yang terjadi?"
"Leeteuk." jawab marcus singkat.
"Siapa?!"
"Mungkinkah, label 'L' itu berasal dari nama ini?" lanjut Marcus.
Aku sedikit bingung, terlambat menyadari sesuatu yang penting. "Benarkah?! Di mana kita bisa menemukannya?"
Marcus tidak segera menjawab, tapi kemudian Vincent menyahut. "Dari sekian nama di kartu nama ini, hanya nama itu yang di awali dengan huruf L." ia menjawabnya sambil setengah terisak.
"Lalu kenapa kalian bersedih?"
"Ia teman kami semasa dulu, mungkin." jawab Marcus, "Tapi tidak mungkin, karena ia diberitakan meninggal waktu itu."
"Leeteuk?" ulangku.
"Ya, nama aslinya Dennis Park. Leeteuk adalah nama panggilannya saat SMP." lanjut Marcus.
"Kalian sudah berteman dari SMP?!" keduanya mengangguk.
"Tidak kusangka dia begini. Mungkin ia memalsukan kematiannya, lalu berusaha melakukan hal jahat."
"Tenang dulu Vincent-ssi, kita belum tahu kebenarannya kan? Cobalah untuk sedikit lebih tenang." kataku sambil mengulurkan selembar tisu padanya.
“Hiks, kau benar. Bodohnya, kenapa aku bisa sampai menangis begini?” Vincent mengambil tisu yang menggantung ditangganku dan mengusap lembuk ke kedua sisi pipi putih pucatnya. “Lebih baik, kita kembali mengisi dulu tenaga kita kembali!”
“Apa ada makanan?” tanyaku, yang sudah kehabisan energi sedari tadi.

            Vincent memperhatikan sekelilingnya, dan menemukan sekotak sereal yang untungnya ia bawa. Sayangnya segelnya sudah terbuka, jadi hanya ada sedikit yang tersisa. Walaupun kami dapat membaginya jadi tiga tapi jumlahnya akan sedikit, tidak bisa digunakan mengisi energi.
            Akhirnya kami sepakat, semanjak aku yang menyetir akulah yang menghabiskan sereal itu. . . . . . . dan aku terisi kembali. Marcus pindah ke kursi belakang bersama Vincent untuk dapat berbaring.

“Kalian beristirahatlah dulu, aku akan mencari toko. Mungkin salah satunya masih ada yang belum hancur tapi tidak berpenghuni. Kita juga harus mengisi bahan bakar kendaraan ini.” Kataku, mereka hanya mengangguk lemah menanggapi pernyataanku.

            Tidak butuh waktu lama untuk menemukan tempat yang kumaksud tadi. Banyak toko berjejer, dan semuanya kosong. Incent dan Marcus tengah tertidur jadi tak kubangunkan mereka. Aku keluar dari mobil, lalu segera masuk se dalam sebuah mini market, masih terdapat banyak barang disana dan semuanya utuh.
            Tidak usah basa-basi lagi aku langsung mengambil banyak makanan untuk persediaan kami di jalan. Tujuan kami adalah sebuah gedung kokoh di ujung kota, gedung besar yang diselimuti awan gelap juga kilatan yan menyambar di sekitarnya dimana terdapat sebuah tulisan ‘специальный ’ di bagian atasnya. Kuyakini itu bahasa Rusia, tapi aku tidak tahu artinya...

. . . . . . . . .
~TBC~
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!
Thank's For Reading and RCL Please
^_^

story and cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushinee@ymail.com
cr : martha-kpop.blogspot.com


Read More..