Genre : Crime, Friendship,
Fantasy, Adventure
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus
Cho
Sungmin as
Vincent Lee
“Kita harus mencoba mesin waktu itu lagi.”
“Tapi... kami tidak bisa
melakukannya tanpamu.” Ucap Vincent lirih.
“Aku ikut.” Jawab Marcus
singkat, “Berdiam diri di sini juga tidak akan ada gunannya. Aku bisa mati
konyol.”
Kemudian saat Marcus duduk di sofa, aku mengangkat
tubuhku lalu beranjak ke bangkai robot ‘L-86’. Aku mencoba mencari sesuatu yang
mungkin bisa membantu kami, misalnya sabuah chip yang menyimpan apa yang robot
pikirkan, sama halnya sepertiku yang juga mempunyainya.
Aku membuka bagian belakang kepalanya yang setengah
hangus. Tadinya aku berencana membukanya dengan perlahan tanpa maksud apapun,
tapi karena aku hampir mati karena kesal berusaha membuka kerangka kepalanya,
dengan sangat terpaksa aku menghancurkan kerangka itu dengan kayu sisa dari
kursi yang hancur.
Lalu aku menoleh singkat pada Marcus dan Vincent untuk
melihat reaksi dari suara ribut yang ku hasilkan tadi, saat melihat ekspresi
wajah mereka yang agak kaget aku sedikit mengembangkan senyumku. Dan segera
fokus kembali terhadap apa yang sedang aku kerjakan tadi. Mencari sesuatu yang
kecil diantara benda kecil lainnya. Lampu padam, memang benar ide gila
memecahkannya tadi. Aku heran kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padahal
bisanya robot di ciptakan agar bisa menghasilkan sesuatu yang lebih efisien,
tapi lihat aku sekarang malah mempersulit diriku sendiri.
Akhirnya omong kosongku tadi
cukup berguna, “Ini dia.” Aku menunjukkan sebuah chip kecil yang untung belum
terbakar kepada mereka. “Kita coba ini dulu di PC.”
Dengan segera Vincent membawa sebuah laptop turun
kebawah, lalu memberikannya padaku. Aku memasukkam chip tadi dengan hati-hati
ke slot USB, dan laptop-nya bereaksi. ‘Open
File’ , beruntung chip ini tidak dilindung password jadi dapat dengan mudah
kami akses.
Terlalu banyak folder... satu per satu aku membukanya.
Hanya sekumpulan file program. Kesal mencari mana isi ‘otak’ ini, akhirnya aku
menyerah setelah folder yang ke 486, aku berdiri lalu menjauh dari benda yang
bisa membuatku gila itu.
“Kita tidak bisa terus disini
dan melakukan hal tidak berguna.” Kataku pelan.
Keduanya menoleh, “Benar.
Sebaiknya kita cepat kesana dulu, sebelum mereka kembali kemari.” Balas Marcus.
“Mungkin ada yang bisa kita
bawa? Aku takut disana mungkin tidak ada apa-apa.” Saran Vincent.
Tapi Marcus malah langsung
menarik Vincent keluar “Tidak ada waktu!”
Kami
berhamburan keluar, untuk kembali mencoba mesin waktu yang Marcus buat. Tapi
karena tangannya terluka dan ia juga tidak punya cukup tenaga, maka akulah yang
menggantikannya mengayuh sepeda itu. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengayuh
sepeda itu secepat mungkin supaya mesinnya bekerja, sedangkan Marcus dan
Vincent menggantung pada lenganku agar tidak tertinggal.
Sampai
saatnya sepeda itu menyala dan mengeluarkan percikan pada rodanya yang membuat
kami berada di dimensi lain. Berputar-putar diruangan kosong dengan warna putih
yang terang membuat mataku perih. Maka saat itu, aku memejamkan mataku dan
menggenggam stang sepeda kuat-kuat, begitu juga Marcus dan Vincent yang semakin
mencengkram lenganku, lalu kami menunggu apa yang akan terjadi selajutnya.
Tanpa
sadar tiba-tiba kami terbanting di ubin dingin yang keras, dengan segera aku
menapakkan kakiku di lantai, lalu membantu Vincent dan Marcus menggunakan kedua
tanganku.
Vincent berhasil berdiri
tegak, dan ia langsung mengusapkan ppunggung tangannya ke wajah Marcus yang
kotor dan membersihkan mantel dokternya juga, “Kau tidak apa Marcus-ssi?”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Oh, aku... yah, jatuh itu
sakit.” Jawab Vincent manis.
“Benar, begitu juga aku yang
merasakannya.” Kataku ketus.
“Haha, Jerome-ssi. Jangan
cemburu begitu.” Kata Marcus sambil mengeluarkan sedikit suara tawa.
“Dimana ini?” tanya Vincent.
“Apa kita mendarat di tempat yang benar?”
Aku fokus memperhatikan tempat dimana kami barusan
mendarat. Tahun 2058, mungkin. Aku berusaha menstabilkan badan dan kepalaku yang
terkena goncangan hebat tadi. Rasanya sedikit pusing.
Saat pandanganku sudah mulai jelas, aku segera mengenali
tempat yang sudah setengah utuh ini. Banyak kabel dimana-mana, juga
bongkahan-bongkahan atap yang rubuh juga plat-plat metal berserakan disepanjang
pandanganku.
“Jerome, apa kita ada di
tempat yang benar?” mendadak Marcus menepuk pundakku, membuatku tersadar dari
lamunanku. “Disinikah markas rahasia ‘L’?”
Aku berbalik untuk menatap
matanya, “Bukan. Tapi ini adalah tempat dimana kau menciptakan aku.”
“Benarkah? Dalam keadaan
seperti ini?”
“Tidak,” aku berhenti
sebentar. “Kau masih ingat kan apa yang pernah aku ceritakan padamu tentang
bagaimana aku bisa ada di zamanmu?”
Marcus mengangguk, “Ah.. iya,
kita diserang para robot.”
“Benar.” Kataku lagi sambil
kembali mengedarkan pandanganku.
“Jadi apa yang bisa kita
lakukan disini?” tanya Vincent tidak sabaran.
“Kalian tunggu dulu disini.
Aku akan men-cek keadaan diluar.” Lalu aku pun mendekati pintu depan yang
tertutup rapat. Memegang kenopnya saja sudah membuatku merinding, sepertinya
jika aku membuka pintu ini tiba-tiba segerombolan orang akan menembakiku hingga
mati seketika.
Tapi aku menyingkirkan pikiran itu dan segera membukanya.
Aku tercengang melihat kudapati kota yang hampir setengahnya hancur. Hanya
terlihat beberapa bangunan besar yang masih berdiri kokoh, itu juga diselimuti
oleh kabut hitam juga beberapa kali kilat menyambar.
Apa yang telah terjadi? Aku melangkahkan kakiku sedikit,
sampai aku menundukkan kepala, banyak robot tak utuh yang berserakan dibawah
kakiku. Merasa pernah melihat hal ini aku tidak banyak bereaksi. Aku mendekati
benda itu lalu berjongkok di dekatnya, mendekati sebuah kepala setengah hancur
dan memusatkan perhatianku pada sesuatu yang tertulis di tulang pipi kanannya.
Dari beberapa bangkai robot yang ada disitu hampir semuannya berlabel yang sama
yaitu ‘L’ tapi dengan nomer yang berbeda. Sedangkan sisanya tidak berlabel.
Seseorang kembali menepuk
pundakku. “Ada apa?”
Aku berbalik lalu mendongak.
“Lihat! Mereka semua berlabel ‘L’.”
“Artinya?”
“Prof, mereka ini benda yang
sama dengan yang menyerang kita waktu itu.”
“Kau benar, mereka diciptakan
dari orang sama. Tapi... oh iya, jangan panggil aku Prof, aku belum mempunyai
gelar itu. Pangil Marcus saja seperti biasanya!”
“Ah, Sorry. Walaupun kau
lebih muda, tapi benar-benar mirip saat kau pakai kacamata.”
“Maksudmu terlihat tua? Kalau
begitu akan kulepas.” Marcus melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya ke saku
kiri kemeja putihnya.
“Kau bisa melihat?” tanyaku
khawatir, lalu ia menggeleng. “Haha, kalau begitu jangan.”
Aku menaruh kembali serpihan yang sedari tadi kupegang,
dan sambil berdiri aku mengusapkan tanganku pada jaketku. Aku berdiri tepat
didepannya, aku mengulurkan tanganku untuk mengambil kembali kacamatanya, lalu
aku memasang kacamata itu kembali diwajah Marcus yang tenang tapi terlihat agak
sedikit canggung.
“Te... Terimakasih.” Ucapnya
gemetar.
“Kenapa gemetar?”
“A.. apa?” Bukan.. hanya
saja.” Ia mulai menenangkan dirinya. “Kenapa aku menciptakanmu begitu tampan
ya?”
“Aku bukan robot pembunuh,
aku perlu bersosialisasi dengan orang lain kan. Tunggu... kau bilang aku
tampan?”
Ia memalingkan
wajahnya.”Ya... ah sudah lupakan saja!”
“Kau.. iri atau.. tertarik
padaku?” tanyaku bercanda. Tapi Marcus malah menganggap leluconku itu serius,
ia memelototiku sambil meolak menjawab pertanyanku mentah-mentah.
"YA! Ada apa?!"
tiba-tiba Vincent muncul dari balik punggung Marcus.
"Tidak ada. Ayo masuk,
cepat buat rencana." perintah Marcus. Aku hanya bisa mengikutinya tanpa
berkata apapun, bahkan saat Vincent memintaku bicara.
Duduk
disebuah sofa yang masih bisa diduduki kami berdiam diri selama beberapa menit,
menunggu sesuatu keluar dari mulut kami secara tidak sengaja. Rasa lelah
tiba-tiba menderaku, tenggorokanku yang terasa kering malah membuatku berpikir
'Apa sebenarnya aku ini? Manusia atau benar-benar robot?' aku memegang leherku
untuk memasikannya ini tidak apa-apa.
"Jerome-ssi, ada
apa?"
Otomatis aku menoleh pada
Vincent. "Tidak, hanya saja rasanya lelah sekali."
"Begitukah?" ia
terlihat berpikir, "Sayang kau yang harus mengayuh sepeda itu."
Marcus yang sedari tadi menundukkan kepalanya langsung menoleh pada Vincent,
tapi ia malah memandang ke sekeliling. "Apa ada yang masih bisa kita makan
disini?"
Vincent
berdiri mencari dimana letak dapur. Setelah menemukannya, ia kembali mencari
hampir seluruh laci yang sudah terkena senjata laser mungkin.
"Professor Doktor
Marcus Cho. Apa selama penelitian kau tidak makan bahkan sampai umurmu
menginjak 70 tahun?" ledek Vincent.
"Apa maksudmu?!"
ujar Marcus marah. "Aissh dasar bocah." Marcus menepuk kedua pahanya
lalu berdiri menghampiri Vincent. Ia langsung membuka laci atas paling ujung
kanan, dan sepertinya menemukan sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah kotak sereal
lalu langsung menyodorkannya pada Vincent. "Ini ambil!" tapi Vincent
tidak segera mengambilnya. "Kenapa? Ayo cepat ambil!"
Baru Vincent mengambilnya.
"Marcus-ssi?"
"Hm?"
"Bagaimana... kau bisa
tahu disitu ada sesuatu?"
"Apa maksudmu? Inikan
rumahku."
"Iya. Tapi 40 tahun-an
lagi."
. . . . . . . . . .
Kami
semua bingung, dan aku juga merasakan hal yang aneh sedari tadi. Baru
kuperhatikan, rupanya bentuk dan posisi barang-barang disini sama persis dengan
rumah Marcus di 40 tahun yang lalu.
"Hmmm.. Tunggu. Buat
apa kita memikirkan hal bodoh ini?" sela Marcus, "Bukankah lebih baik
kita memikirkan cara kita menyelamatkan dunia?!"
Kami
menoleh, memang untuk sesaat aku juga memikirkan hal yang sama. Keindahan bukan
segala-galanya bagi seorang ilmuan, hanya saja mungkin Prof. Marcus terlalu
sibuk untuk merenovasi rumahnya.
"Yah, benar juga.
Kalau begitu ini.." Vincent menyodorkan beberapa lembar kertas kecil.
"Kartu nama."
"Benarkah?!" aku
langsung menyambar semua kartu itu dan memperhatikannya satu-persatu dengan
tidak sabaran. “Kau dapat dari mana?!”
Tapi
kemudian kami mendengar suara dobrakan dari pintu depan, dan aku segera
melempar pandanganku ke pintu depan. Setelah itu aku langsung menarik mereka
berdua lari ke Garasi, dan dengan segera masuk ke dalam mobil Jeep yang biasa
Prof. Marcus gunakan untuk mencari bahan-bahan percobaan.
Tidak
ada waktu bertanya, langsung aku melemparkan kartu-kartu itu ke Vincent yang duduk
di jok belakang, lalu menyalakan mesin mobil yang untungnya masih berfungsi,
walaupun aku masih perlu bersusah payah dan sedikit menghabiskan waktu untuk
menyalakannya. Terdengar lebih banyak hentakan juga lebih kencang, membuatku
harus cepat mengulang beberapa kali saat menstater mobil. Sampai saatnya mobil
hidup, aku langsung tancap gas, menerobos pintu garasi.
Pasukan itu sedikit terlambat
karena tidak sempat mengejar, maka kami ditembaki dari arah belakang membuat
Marcus dan Vincet yang panik menundukkan kepala mereka sedalam mungkin. Sampai
akhirnya kami menjauh, tembakan berhenti, dan tidak terlihat lagi dari kaca
spion.
"Aishh! Apa mereka bercanda?!" kata
Marcus marah. "Masuk ke rumah yang hampir hancur, dan ketika mereka
menemukan sesuatu langsung menembak sembarangan."
"Mungkin mereka menandai rumah itu."
jawabku.
"Menandai?"
"Seperti sensor gerak. Benda itu
mendeteksi adanya pergerakan."
"Bagaimana dengan tikus yang
berlarian?"
"Kamera." sambil terfokus menyetir
aku berusaha menghapus kekhawatiran Marcus. "Mereka juga pasti memasang
kamera di setiap sudut ruangan."
"Dalam ruangan yang pernah mereka serang
sebelumnya?!"
“Itu.. karena... karena...” aku menghembuskan
nafas panjang.
Setelah perkataan itu, aku
tidak tahu harus menjawab apa jadi aku berdiam diri kembali memperhatikan
jalanan. Berlama-lama menyetir tanpa tujuan membuatku lelah, jadi aku
menghentikan mobil di pinggir jalan kota yang sepi ini di tengah kota.
"Tanpa tujuan hanya akan membuat kita
mati konyol kan?" pandanganku mengarah pada Vincent dan Marcus.
Vincent menjawab sambil menundukkan kepalanya,
"Benar."
"Vincent-ssi. Kau kenapa?" tanyaku
menoleh kebelakang.
". . . ." ia tidak menjawab, ia
malah terus memperhatikan kartu yang ada di tangannya.
Melihat hal itu, entah
mungkin karena merasa khawatir Marcus segera menyambar kartu itu dan
memperhatikan tiap detailnya. Dan tidak lama wajah Marcus pun seketika berubah.
Kaget. Aku yang kelelahan hanya bisa memandang mereka dengan pikiran kosong. Tak
lama kemudian Vincent mulai menangis.
"Bisa tolong seseorang memberitahu padaku
apa yang terjadi?"
"Leeteuk." jawab marcus singkat.
"Siapa?!"
"Mungkinkah, label 'L' itu berasal dari
nama ini?" lanjut Marcus.
Aku sedikit bingung, terlambat menyadari
sesuatu yang penting. "Benarkah?! Di mana kita bisa menemukannya?"
Marcus tidak segera menjawab, tapi kemudian
Vincent menyahut. "Dari sekian nama di kartu nama ini, hanya nama itu yang
di awali dengan huruf L." ia menjawabnya sambil setengah terisak.
"Lalu kenapa kalian bersedih?"
"Ia teman kami semasa dulu,
mungkin." jawab Marcus, "Tapi tidak mungkin, karena ia diberitakan
meninggal waktu itu."
"Leeteuk?" ulangku.
"Ya, nama aslinya Dennis Park. Leeteuk
adalah nama panggilannya saat SMP." lanjut Marcus.
"Kalian sudah berteman dari SMP?!"
keduanya mengangguk.
"Tidak kusangka dia begini. Mungkin ia
memalsukan kematiannya, lalu berusaha melakukan hal jahat."
"Tenang dulu Vincent-ssi, kita belum tahu
kebenarannya kan? Cobalah untuk sedikit lebih tenang." kataku sambil mengulurkan
selembar tisu padanya.
“Hiks, kau benar. Bodohnya, kenapa aku bisa
sampai menangis begini?” Vincent mengambil tisu yang menggantung ditangganku
dan mengusap lembuk ke kedua sisi pipi putih pucatnya. “Lebih baik, kita
kembali mengisi dulu tenaga kita kembali!”
“Apa ada makanan?” tanyaku, yang sudah
kehabisan energi sedari tadi.
Vincent
memperhatikan sekelilingnya, dan menemukan sekotak sereal yang untungnya ia
bawa. Sayangnya segelnya sudah terbuka, jadi hanya ada sedikit yang tersisa.
Walaupun kami dapat membaginya jadi tiga tapi jumlahnya akan sedikit, tidak
bisa digunakan mengisi energi.
Akhirnya
kami sepakat, semanjak aku yang menyetir akulah yang menghabiskan sereal itu. .
. . . . . dan aku terisi kembali. Marcus pindah ke kursi belakang bersama
Vincent untuk dapat berbaring.
“Kalian beristirahatlah dulu, aku akan mencari
toko. Mungkin salah satunya masih ada yang belum hancur tapi tidak berpenghuni.
Kita juga harus mengisi bahan bakar kendaraan ini.” Kataku, mereka hanya
mengangguk lemah menanggapi pernyataanku.
Tidak
butuh waktu lama untuk menemukan tempat yang kumaksud tadi. Banyak toko
berjejer, dan semuanya kosong. Incent dan Marcus tengah tertidur jadi tak
kubangunkan mereka. Aku keluar dari mobil, lalu segera masuk se dalam sebuah
mini market, masih terdapat banyak barang disana dan semuanya utuh.
Tidak
usah basa-basi lagi aku langsung mengambil banyak makanan untuk persediaan kami
di jalan. Tujuan kami adalah sebuah gedung kokoh di ujung kota, gedung besar
yang diselimuti awan gelap juga kilatan yan menyambar di sekitarnya dimana
terdapat sebuah tulisan ‘специальный ’ di bagian atasnya. Kuyakini itu
bahasa Rusia, tapi aku tidak tahu artinya...
.
. . . . . . . .
~TBC~
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!
Thank's For Reading and RCL Please
^_^
Thank's For Reading and RCL Please
^_^
story and cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushinee@ymail.com
cr : martha-kpop.blogspot.com
cr : martha-kpop.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar