Sabtu, 06 Oktober 2012

Super Junior YeKyu Fanfiction : LOST part 6




Genre : Crime, Friendship, Fantasy, Adventure
Rating : T
Author : @MarthAngel1004
Main Cast :
Yesung as Jerome Kim
Kyuhyun as Marcus Cho
Sungmin as Vincent Lee

 “Kita harus mencoba mesin waktu itu lagi.”
“Tapi... kami tidak bisa melakukannya tanpamu.” Ucap Vincent lirih.
“Aku ikut.” Jawab Marcus singkat, “Berdiam diri di sini juga tidak akan ada gunannya. Aku bisa mati konyol.”

            Kemudian saat Marcus duduk di sofa, aku mengangkat tubuhku lalu beranjak ke bangkai robot ‘L-86’. Aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu kami, misalnya sabuah chip yang menyimpan apa yang robot pikirkan, sama halnya sepertiku yang juga mempunyainya.
            Aku membuka bagian belakang kepalanya yang setengah hangus. Tadinya aku berencana membukanya dengan perlahan tanpa maksud apapun, tapi karena aku hampir mati karena kesal berusaha membuka kerangka kepalanya, dengan sangat terpaksa aku menghancurkan kerangka itu dengan kayu sisa dari kursi yang hancur.
            Lalu aku menoleh singkat pada Marcus dan Vincent untuk melihat reaksi dari suara ribut yang ku hasilkan tadi, saat melihat ekspresi wajah mereka yang agak kaget aku sedikit mengembangkan senyumku. Dan segera fokus kembali terhadap apa yang sedang aku kerjakan tadi. Mencari sesuatu yang kecil diantara benda kecil lainnya. Lampu padam, memang benar ide gila memecahkannya tadi. Aku heran kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padahal bisanya robot di ciptakan agar bisa menghasilkan sesuatu yang lebih efisien, tapi lihat aku sekarang malah mempersulit diriku sendiri.

Akhirnya omong kosongku tadi cukup berguna, “Ini dia.” Aku menunjukkan sebuah chip kecil yang untung belum terbakar kepada mereka. “Kita coba ini dulu di PC.”

           Dengan segera Vincent membawa sebuah laptop turun kebawah, lalu memberikannya padaku. Aku memasukkam chip tadi dengan hati-hati ke slot USB, dan laptop-nya bereaksi. ‘Open File’ , beruntung chip ini tidak dilindung password jadi dapat dengan mudah kami akses.
        Terlalu banyak folder... satu per satu aku membukanya. Hanya sekumpulan file program. Kesal mencari mana isi ‘otak’ ini, akhirnya aku menyerah setelah folder yang ke 486, aku berdiri lalu menjauh dari benda yang bisa membuatku gila itu.

“Kita tidak bisa terus disini dan melakukan hal tidak berguna.” Kataku pelan.
Keduanya menoleh, “Benar. Sebaiknya kita cepat kesana dulu, sebelum mereka kembali kemari.” Balas Marcus.
“Mungkin ada yang bisa kita bawa? Aku takut disana mungkin tidak ada apa-apa.” Saran Vincent.
Tapi Marcus malah langsung menarik Vincent keluar “Tidak ada waktu!”

Kami berhamburan keluar, untuk kembali mencoba mesin waktu yang Marcus buat. Tapi karena tangannya terluka dan ia juga tidak punya cukup tenaga, maka akulah yang menggantikannya mengayuh sepeda itu. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengayuh sepeda itu secepat mungkin supaya mesinnya bekerja, sedangkan Marcus dan Vincent menggantung pada lenganku agar tidak tertinggal.
Sampai saatnya sepeda itu menyala dan mengeluarkan percikan pada rodanya yang membuat kami berada di dimensi lain. Berputar-putar diruangan kosong dengan warna putih yang terang membuat mataku perih. Maka saat itu, aku memejamkan mataku dan menggenggam stang sepeda kuat-kuat, begitu juga Marcus dan Vincent yang semakin mencengkram lenganku, lalu kami menunggu apa yang akan terjadi selajutnya.
Tanpa sadar tiba-tiba kami terbanting di ubin dingin yang keras, dengan segera aku menapakkan kakiku di lantai, lalu membantu Vincent dan Marcus menggunakan kedua tanganku.

Vincent berhasil berdiri tegak, dan ia langsung mengusapkan ppunggung tangannya ke wajah Marcus yang kotor dan membersihkan mantel dokternya juga, “Kau tidak apa Marcus-ssi?”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Oh, aku... yah, jatuh itu sakit.” Jawab Vincent manis.
“Benar, begitu juga aku yang merasakannya.” Kataku ketus.
“Haha, Jerome-ssi. Jangan cemburu begitu.” Kata Marcus sambil mengeluarkan sedikit suara tawa.
“Dimana ini?” tanya Vincent. “Apa kita mendarat di tempat yang benar?”

            Aku fokus memperhatikan tempat dimana kami barusan mendarat. Tahun 2058, mungkin. Aku berusaha menstabilkan badan dan kepalaku yang terkena goncangan hebat tadi. Rasanya sedikit pusing.
            Saat pandanganku sudah mulai jelas, aku segera mengenali tempat yang sudah setengah utuh ini. Banyak kabel dimana-mana, juga bongkahan-bongkahan atap yang rubuh juga plat-plat metal berserakan disepanjang pandanganku.

“Jerome, apa kita ada di tempat yang benar?” mendadak Marcus menepuk pundakku, membuatku tersadar dari lamunanku. “Disinikah markas rahasia ‘L’?”
Aku berbalik untuk menatap matanya, “Bukan. Tapi ini adalah tempat dimana kau menciptakan aku.”
“Benarkah? Dalam keadaan seperti ini?”
“Tidak,” aku berhenti sebentar. “Kau masih ingat kan apa yang pernah aku ceritakan padamu tentang bagaimana aku bisa ada di zamanmu?”
Marcus mengangguk, “Ah.. iya, kita diserang para robot.”
“Benar.” Kataku lagi sambil kembali mengedarkan pandanganku.
“Jadi apa yang bisa kita lakukan disini?” tanya Vincent tidak sabaran.
“Kalian tunggu dulu disini. Aku akan men-cek keadaan diluar.” Lalu aku pun mendekati pintu depan yang tertutup rapat. Memegang kenopnya saja sudah membuatku merinding, sepertinya jika aku membuka pintu ini tiba-tiba segerombolan orang akan menembakiku hingga mati seketika.

            Tapi aku menyingkirkan pikiran itu dan segera membukanya. Aku tercengang melihat kudapati kota yang hampir setengahnya hancur. Hanya terlihat beberapa bangunan besar yang masih berdiri kokoh, itu juga diselimuti oleh kabut hitam juga beberapa kali kilat menyambar.
            Apa yang telah terjadi? Aku melangkahkan kakiku sedikit, sampai aku menundukkan kepala, banyak robot tak utuh yang berserakan dibawah kakiku. Merasa pernah melihat hal ini aku tidak banyak bereaksi. Aku mendekati benda itu lalu berjongkok di dekatnya, mendekati sebuah kepala setengah hancur dan memusatkan perhatianku pada sesuatu yang tertulis di tulang pipi kanannya. Dari beberapa bangkai robot yang ada disitu hampir semuannya berlabel yang sama yaitu ‘L’ tapi dengan nomer yang berbeda. Sedangkan sisanya tidak berlabel.

Seseorang kembali menepuk pundakku. “Ada apa?”
Aku berbalik lalu mendongak. “Lihat! Mereka semua berlabel ‘L’.”
“Artinya?”
“Prof, mereka ini benda yang sama dengan yang menyerang kita waktu itu.”
“Kau benar, mereka diciptakan dari orang sama. Tapi... oh iya, jangan panggil aku Prof, aku belum mempunyai gelar itu. Pangil Marcus saja seperti biasanya!”
“Ah, Sorry. Walaupun kau lebih muda, tapi benar-benar mirip saat kau pakai kacamata.”
“Maksudmu terlihat tua? Kalau begitu akan kulepas.” Marcus melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya ke saku kiri kemeja putihnya.
“Kau bisa melihat?” tanyaku khawatir, lalu ia menggeleng. “Haha, kalau begitu jangan.”

            Aku menaruh kembali serpihan yang sedari tadi kupegang, dan sambil berdiri aku mengusapkan tanganku pada jaketku. Aku berdiri tepat didepannya, aku mengulurkan tanganku untuk mengambil kembali kacamatanya, lalu aku memasang kacamata itu kembali diwajah Marcus yang tenang tapi terlihat agak sedikit canggung.

“Te... Terimakasih.” Ucapnya gemetar.
“Kenapa gemetar?”
“A.. apa?” Bukan.. hanya saja.” Ia mulai menenangkan dirinya. “Kenapa aku menciptakanmu begitu tampan ya?”
“Aku bukan robot pembunuh, aku perlu bersosialisasi dengan orang lain kan. Tunggu... kau bilang aku tampan?”
Ia memalingkan wajahnya.”Ya... ah sudah lupakan saja!”
“Kau.. iri atau.. tertarik padaku?” tanyaku bercanda. Tapi Marcus malah menganggap leluconku itu serius, ia memelototiku sambil meolak menjawab pertanyanku mentah-mentah.
"YA! Ada apa?!" tiba-tiba Vincent muncul dari balik punggung Marcus.
"Tidak ada. Ayo masuk, cepat buat rencana." perintah Marcus. Aku hanya bisa mengikutinya tanpa berkata apapun, bahkan saat Vincent memintaku bicara.

Duduk disebuah sofa yang masih bisa diduduki kami berdiam diri selama beberapa menit, menunggu sesuatu keluar dari mulut kami secara tidak sengaja. Rasa lelah tiba-tiba menderaku, tenggorokanku yang terasa kering malah membuatku berpikir 'Apa sebenarnya aku ini? Manusia atau benar-benar robot?' aku memegang leherku untuk memasikannya ini tidak apa-apa.

"Jerome-ssi, ada apa?"
Otomatis aku menoleh pada Vincent. "Tidak, hanya saja rasanya lelah sekali."
"Begitukah?" ia terlihat berpikir, "Sayang kau yang harus mengayuh sepeda itu." Marcus yang sedari tadi menundukkan kepalanya langsung menoleh pada Vincent, tapi ia malah memandang ke sekeliling. "Apa ada yang masih bisa kita makan disini?"

Vincent berdiri mencari dimana letak dapur. Setelah menemukannya, ia kembali mencari hampir seluruh laci yang sudah terkena senjata laser mungkin.

"Professor Doktor Marcus Cho. Apa selama penelitian kau tidak makan bahkan sampai umurmu menginjak 70 tahun?" ledek Vincent.
"Apa maksudmu?!" ujar Marcus marah. "Aissh dasar bocah." Marcus menepuk kedua pahanya lalu berdiri menghampiri Vincent. Ia langsung membuka laci atas paling ujung kanan, dan sepertinya menemukan sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah kotak sereal lalu langsung menyodorkannya pada Vincent. "Ini ambil!" tapi Vincent tidak segera mengambilnya. "Kenapa? Ayo cepat ambil!"
Baru Vincent mengambilnya. "Marcus-ssi?"
"Hm?"
"Bagaimana... kau bisa tahu disitu ada sesuatu?"
"Apa maksudmu? Inikan rumahku."
"Iya. Tapi 40 tahun-an lagi."
. . . . . . . . . .
Kami semua bingung, dan aku juga merasakan hal yang aneh sedari tadi. Baru kuperhatikan, rupanya bentuk dan posisi barang-barang disini sama persis dengan rumah Marcus di 40 tahun yang lalu.

"Hmmm.. Tunggu. Buat apa kita memikirkan hal bodoh ini?" sela Marcus, "Bukankah lebih baik kita memikirkan cara kita menyelamatkan dunia?!"

Kami menoleh, memang untuk sesaat aku juga memikirkan hal yang sama. Keindahan bukan segala-galanya bagi seorang ilmuan, hanya saja mungkin Prof. Marcus terlalu sibuk untuk merenovasi rumahnya.

"Yah, benar juga. Kalau begitu ini.." Vincent menyodorkan beberapa lembar kertas kecil. "Kartu nama."
"Benarkah?!" aku langsung menyambar semua kartu itu dan memperhatikannya satu-persatu dengan tidak sabaran. “Kau dapat dari mana?!”

Tapi kemudian kami mendengar suara dobrakan dari pintu depan, dan aku segera melempar pandanganku ke pintu depan. Setelah itu aku langsung menarik mereka berdua lari ke Garasi, dan dengan segera masuk ke dalam mobil Jeep yang biasa Prof. Marcus gunakan untuk mencari bahan-bahan percobaan.
Tidak ada waktu bertanya, langsung aku melemparkan kartu-kartu itu ke Vincent yang duduk di jok belakang, lalu menyalakan mesin mobil yang untungnya masih berfungsi, walaupun aku masih perlu bersusah payah dan sedikit menghabiskan waktu untuk menyalakannya. Terdengar lebih banyak hentakan juga lebih kencang, membuatku harus cepat mengulang beberapa kali saat menstater mobil. Sampai saatnya mobil hidup, aku langsung tancap gas, menerobos pintu garasi.
Pasukan itu sedikit terlambat karena tidak sempat mengejar, maka kami ditembaki dari arah belakang membuat Marcus dan Vincet yang panik menundukkan kepala mereka sedalam mungkin. Sampai akhirnya kami menjauh, tembakan berhenti, dan tidak terlihat lagi dari kaca spion.

"Aishh! Apa mereka bercanda?!" kata Marcus marah. "Masuk ke rumah yang hampir hancur, dan ketika mereka menemukan sesuatu langsung menembak sembarangan."
"Mungkin mereka menandai rumah itu." jawabku.
"Menandai?"
"Seperti sensor gerak. Benda itu mendeteksi adanya pergerakan."
"Bagaimana dengan tikus yang berlarian?"
"Kamera." sambil terfokus menyetir aku berusaha menghapus kekhawatiran Marcus. "Mereka juga pasti memasang kamera di setiap sudut ruangan."
"Dalam ruangan yang pernah mereka serang sebelumnya?!"
“Itu.. karena... karena...” aku menghembuskan nafas panjang.

Setelah perkataan itu, aku tidak tahu harus menjawab apa jadi aku berdiam diri kembali memperhatikan jalanan. Berlama-lama menyetir tanpa tujuan membuatku lelah, jadi aku menghentikan mobil di pinggir jalan kota yang sepi ini di tengah kota.

"Tanpa tujuan hanya akan membuat kita mati konyol kan?" pandanganku mengarah pada Vincent dan Marcus.
Vincent menjawab sambil menundukkan kepalanya, "Benar."
"Vincent-ssi. Kau kenapa?" tanyaku menoleh kebelakang.
". . . ." ia tidak menjawab, ia malah terus memperhatikan kartu yang ada di tangannya.

Melihat hal itu, entah mungkin karena merasa khawatir Marcus segera menyambar kartu itu dan memperhatikan tiap detailnya. Dan tidak lama wajah Marcus pun seketika berubah. Kaget. Aku yang kelelahan hanya bisa memandang mereka dengan pikiran kosong. Tak lama kemudian Vincent mulai menangis.

"Bisa tolong seseorang memberitahu padaku apa yang terjadi?"
"Leeteuk." jawab marcus singkat.
"Siapa?!"
"Mungkinkah, label 'L' itu berasal dari nama ini?" lanjut Marcus.
Aku sedikit bingung, terlambat menyadari sesuatu yang penting. "Benarkah?! Di mana kita bisa menemukannya?"
Marcus tidak segera menjawab, tapi kemudian Vincent menyahut. "Dari sekian nama di kartu nama ini, hanya nama itu yang di awali dengan huruf L." ia menjawabnya sambil setengah terisak.
"Lalu kenapa kalian bersedih?"
"Ia teman kami semasa dulu, mungkin." jawab Marcus, "Tapi tidak mungkin, karena ia diberitakan meninggal waktu itu."
"Leeteuk?" ulangku.
"Ya, nama aslinya Dennis Park. Leeteuk adalah nama panggilannya saat SMP." lanjut Marcus.
"Kalian sudah berteman dari SMP?!" keduanya mengangguk.
"Tidak kusangka dia begini. Mungkin ia memalsukan kematiannya, lalu berusaha melakukan hal jahat."
"Tenang dulu Vincent-ssi, kita belum tahu kebenarannya kan? Cobalah untuk sedikit lebih tenang." kataku sambil mengulurkan selembar tisu padanya.
“Hiks, kau benar. Bodohnya, kenapa aku bisa sampai menangis begini?” Vincent mengambil tisu yang menggantung ditangganku dan mengusap lembuk ke kedua sisi pipi putih pucatnya. “Lebih baik, kita kembali mengisi dulu tenaga kita kembali!”
“Apa ada makanan?” tanyaku, yang sudah kehabisan energi sedari tadi.

            Vincent memperhatikan sekelilingnya, dan menemukan sekotak sereal yang untungnya ia bawa. Sayangnya segelnya sudah terbuka, jadi hanya ada sedikit yang tersisa. Walaupun kami dapat membaginya jadi tiga tapi jumlahnya akan sedikit, tidak bisa digunakan mengisi energi.
            Akhirnya kami sepakat, semanjak aku yang menyetir akulah yang menghabiskan sereal itu. . . . . . . dan aku terisi kembali. Marcus pindah ke kursi belakang bersama Vincent untuk dapat berbaring.

“Kalian beristirahatlah dulu, aku akan mencari toko. Mungkin salah satunya masih ada yang belum hancur tapi tidak berpenghuni. Kita juga harus mengisi bahan bakar kendaraan ini.” Kataku, mereka hanya mengangguk lemah menanggapi pernyataanku.

            Tidak butuh waktu lama untuk menemukan tempat yang kumaksud tadi. Banyak toko berjejer, dan semuanya kosong. Incent dan Marcus tengah tertidur jadi tak kubangunkan mereka. Aku keluar dari mobil, lalu segera masuk se dalam sebuah mini market, masih terdapat banyak barang disana dan semuanya utuh.
            Tidak usah basa-basi lagi aku langsung mengambil banyak makanan untuk persediaan kami di jalan. Tujuan kami adalah sebuah gedung kokoh di ujung kota, gedung besar yang diselimuti awan gelap juga kilatan yan menyambar di sekitarnya dimana terdapat sebuah tulisan ‘специальный ’ di bagian atasnya. Kuyakini itu bahasa Rusia, tapi aku tidak tahu artinya...

. . . . . . . . .
~TBC~
TAKE OUT WITH FULL CREDIT!
Thank's For Reading and RCL Please
^_^

story and cover by @MarthAngel1004 / martha_sujushinee@ymail.com
cr : martha-kpop.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar